Lebih sakit mana sakit hati atau sakit gigi? Kalau dulu dengan lantang aku jawab "Ya lebih sakit gigi lah. Sakit hati mah nggak kerasa sakitnya sampai nusuk-nusuk." Tapi sekali lagi itu jawaban di masa dulu. Kalau sekarang, di saat udah merasa beneran sakit hati yang bener-bener sakit, ya sakit hati itu sakiiiit banget. Tapi kalau sakit gigi juga sakit. Ya pokoknya both of them have the different feeling. Ya kedua-duanya punya rasa sakit yang beda.
Jujur, aku dalam masa-masa merasa sakit hati. Bener-bener sakit hati. Pasti banyak orang yang bakal bilang "ah lebay lu, biasa aja kali." Tapi yang ini nggak biasa, dan emang nggak bisa aku ceritakan dari A-Z tentang hubungan aku sama dia, iya dia yang udah memilih pergi. Rasanya hubungan pacaran yang bisa bertahan sampai 3 tahun itu luar biasa. Iya luar biasa buat mempertahankan hubungan itu di tengah banyak badai yang menghadang. Tapi memang akhirnya perpisahan nggak bisa dihalangi lagi. Hubungan yang bisa bertahan sampai selama itu pun nggak diwarnai dengan putus-nyambung layaknya pasangan lain. Perpisahan ini pun terjadi meski kita tahu sebenarnya dua pihak masih saling menyayangi satu sama lain.
Rasanya sakit banget, sakiiiit. Beberapa hari sebelum dia minta izin untuk berpisah, aku juga udah minta untuk menjalani kehidupan masing-masing. Karna aku rasa masalah yang sering kami hadapi juga itu-itu aja, jadi yaudah nggak ada lagi jalan keluarnya. Tapi dia nggak mengabulkannya, dia bilang kalau dia membutuhkan aku. Ya karna aku termasuk dalam golongan cewek yang bodoh, masih percaya sama kata-katanya, masih mau diajak makan bareng, dan terbujuk juga dengan sikapnya. Oke, dari situ aku mulai meyakinkan diriku sendiri buat "Oke baiklah, ayo perbaiki hubungan ini lagi". Tapi besoknya, nggak ada angin nggak ada hujan nggak ada badai, dia minta izin buat berpisah. Sakit nggak sih di kala aku udah mulai percaya buat memperbaiki hubungan, dia malah minta berpisah dengan sesuatu alasan. Dengan secepat itu dia mengubah keputusannya, bayangkan dalam sehari aja, bahkan mungkin bisa jadi itu berubah dalam hitungan jam. Rasanya seperti mimpi aja kala itu, bahkan sampai sekarang aku masih belum sadar sepenuhnya kalau hubungan aku dan dia sudah S-E-L-E-S-A-I.
Huh, entahlah ya aku harus gimana. Bodohnya aku juga, langsung aku jawab aku mengikhlaskan dia pergi. Tapi siapa sih yang ingin menghalangi orang lain untuk berbuat baik? Akupun juga begitu, aku nggak ingin jadi penghalang baginya walaupun memang sebenarnya aku nggak bisa. Mimpi-mimpi dan janji-janji bersamanya hilanglah sudah, atau mungkin lebih tepatnya aku harus mulai melupakan semuanya. Lebih sakit lagi adalah membaca semua pesan-pesan lama dari dia, yang katanya dia butuh aku, dia udah bakalan nggak bisa kalau nggak ada aku. Lenyap semuanya lenyap! Mari menikmati sakit hati itu, mari menangisi semuanya, semua kenangan bersamanya.
Jujur, aku dalam masa-masa merasa sakit hati. Bener-bener sakit hati. Pasti banyak orang yang bakal bilang "ah lebay lu, biasa aja kali." Tapi yang ini nggak biasa, dan emang nggak bisa aku ceritakan dari A-Z tentang hubungan aku sama dia, iya dia yang udah memilih pergi. Rasanya hubungan pacaran yang bisa bertahan sampai 3 tahun itu luar biasa. Iya luar biasa buat mempertahankan hubungan itu di tengah banyak badai yang menghadang. Tapi memang akhirnya perpisahan nggak bisa dihalangi lagi. Hubungan yang bisa bertahan sampai selama itu pun nggak diwarnai dengan putus-nyambung layaknya pasangan lain. Perpisahan ini pun terjadi meski kita tahu sebenarnya dua pihak masih saling menyayangi satu sama lain.
Rasanya sakit banget, sakiiiit. Beberapa hari sebelum dia minta izin untuk berpisah, aku juga udah minta untuk menjalani kehidupan masing-masing. Karna aku rasa masalah yang sering kami hadapi juga itu-itu aja, jadi yaudah nggak ada lagi jalan keluarnya. Tapi dia nggak mengabulkannya, dia bilang kalau dia membutuhkan aku. Ya karna aku termasuk dalam golongan cewek yang bodoh, masih percaya sama kata-katanya, masih mau diajak makan bareng, dan terbujuk juga dengan sikapnya. Oke, dari situ aku mulai meyakinkan diriku sendiri buat "Oke baiklah, ayo perbaiki hubungan ini lagi". Tapi besoknya, nggak ada angin nggak ada hujan nggak ada badai, dia minta izin buat berpisah. Sakit nggak sih di kala aku udah mulai percaya buat memperbaiki hubungan, dia malah minta berpisah dengan sesuatu alasan. Dengan secepat itu dia mengubah keputusannya, bayangkan dalam sehari aja, bahkan mungkin bisa jadi itu berubah dalam hitungan jam. Rasanya seperti mimpi aja kala itu, bahkan sampai sekarang aku masih belum sadar sepenuhnya kalau hubungan aku dan dia sudah S-E-L-E-S-A-I.
Huh, entahlah ya aku harus gimana. Bodohnya aku juga, langsung aku jawab aku mengikhlaskan dia pergi. Tapi siapa sih yang ingin menghalangi orang lain untuk berbuat baik? Akupun juga begitu, aku nggak ingin jadi penghalang baginya walaupun memang sebenarnya aku nggak bisa. Mimpi-mimpi dan janji-janji bersamanya hilanglah sudah, atau mungkin lebih tepatnya aku harus mulai melupakan semuanya. Lebih sakit lagi adalah membaca semua pesan-pesan lama dari dia, yang katanya dia butuh aku, dia udah bakalan nggak bisa kalau nggak ada aku. Lenyap semuanya lenyap! Mari menikmati sakit hati itu, mari menangisi semuanya, semua kenangan bersamanya.
Comments
Post a Comment